Friday, January 28, 2011

Eksotika Roti Setrika

Sejak kecil, di rumah, saya terbiasa terlibat urusan dapur. Bukan berawal dari keinginan mulia untuk membantu orang tua atau menyiapkan masakan untuk keluarga, tapi dari bakat lahir untuk menguji kesabaran orangtua.

Sebelum saya genap balita, kedua orangtua memiliki usaha membuat kue kecil-kecilan, dengan armada ibu-ibu pedagang keliling yang setiap paginya akan mengambil dagangan. Jadwal ini membuat ibu dan bapak saya (actually mama papa) harus begadang setiap malam, atau bangun pagi-pagi buta, bersibuk ria di dapur, membuat aneka macam kue. Nah pada saat itulah, bila tak tidur, saya akan berperan di dapur.

Ketika itu, bapak baru saja selesai membuat adonan bika ambon, saya berkeliaran di area dapur. Ketika akan mencuci tangan, beliau berpesan supaya saya menjadi anak baik, maksudnya 'jangan ngacak-ngacak dapur deh'. Tentu saya mengiyakan. Walaupun ragu, bapak akhirnya bergegas mencuci tangannya dan kembali menemukan adonan sudah belepotan ke mana-mana dengan posisi panci terbalik...

Bakat mengacak-acak isi dapur (dan ruangan apapun), berlanjut hingga saat ini, saat teman sebaya disibukkan dengan urusan hamil dan mengasuh anak. Saya sendiri? Masih anak-anak... Nah, jadi gini, hingga menginjak SMU saya terbiasa tinggal di tempat yang memiliki dapur dengan orang-orang yang bisa masak. Saya sendiri lebih jago makan daripada masak. Tapi little little i can lah. Malah dengan super pede saya bisa mendeklarasikan, kemampuan masak saya jauh lebih baik daripada kebanyakan kakak-kakak mahasiswi di kosan 'ini'.

Di kosan 'ini', semua penghuninya adalah wanita, yang bisa masak justru ga pernah masak saking sibuknya, yang ngga sibuk, mencoba mengisi waktu dengan memasak. Persoalannya, ilmu mereka cetek... Bayangkan seberapa sulitnya membuat agar-agar? Panduan masaknya bahkan bisa dengan mudah dibaca di bungkus agar-agar. Air sekian mililiter, gula sekian gram, dan sebungkus agar-agar. Selesai. Tak punya gelas ukur dan timbangan? Andalkan kemampuan logis-matematis dengan membandingkan volume air dalam sebotol air mineral misalnya? Kalo sebotol itu 600 ml, setengahnya berarti 300 ml, itu kira-kira sama dengan ukuran penuh satu gelas belimbing, betul? Begitupun dengan gula, tinggal dikira2, kalo sekilo segede 'gitu', berarti 100 gram adalah 1/10 dari ukuran 'gitu'. Anggaplah demikian. Mudah.

Nah, sayangnya mahasiswi farmasi kelas nerd ini, yang sering bergulat dengan angka dan tentunya, rumus, otaknya terlalu rumit untuk memecahkan persoalan sederhana macam ini hingga agar-agarnya jadi bubur, hehehe. Sebenernya bisa aja saya recycle tapi mengingat kesensiannya yang tingkat langit ke tujuh, dan jutek abis hanya karena saya menyaksikan kegagalannya, jadi saya lebih baik tak beraksi lebih jauh.

Kasus sup ayam menambah tragedi berikutnya di kosan 'ini'. Pelakunya berbeda, hasilnya sama: gagal. Baiklah, itu adalah larutan garam berisi sayuran. Mereka membiarkannya. Kali ini karena pelakunya easy going aja, saya berani campur tangan. Cukup ditambah bumbu penyedap, selesai. Gak jadi mubazir tapi jadilah sup ;)

So karena memasak itu bukan hobi (dan skill) mereka, peralatan masak di kosan 'ini' jadi seadanya, itu pun sering dalam keadaan kotor. Hal inilah yang kemudian membuat setrika menjadi korban ketika saya menginginkan roti bakar, hehehe...

Cara membuat roti setrika ini cukup mudah, yang diperlukan hanyalah roti dan setrika (tentu saja) plus kertas bersih. Tapi demi rasa kemanusiaan dan kepuasan lidah, kita bisa menambahkan apapun yang wajar dalam roti ini hingga mereka bisa disebut sandwich. Pilihan saya selalu jatuh pada margarin dan meses (right spelling? meses? whatever).

So mau diapakan kertasnya? We'll find out!


Begini cara yang biasa saya pakai:
1. Siapkan roti tawar, kertas bersih dan panaskan setrika


2. Oleskan mentega ke roti tawar, taburi dengan meses (bisa diganti selai atau pasta), tutup dengan lapisan roti tawar lain








3. Letakkan sandwich tadi di atas kertas, tutup dengan kertas lain, lalu letakkan setrika panas di atasnya, biarkan hingga berwarna coklat kekuningan, atau coklat? sesuai selera sajah.







4. Balik sandwichnya, lakukan hal yang sama dengan sisi yang satunya. Tapiii... sisi yang ini harus sering di kontrol dengan cara sering mengangkat setrika dan membuka lapisan kertas di atas. Why? Sering kali bagian yang sebelumnya di bawah ini menjadi lembab karena proses fisika yang saya pun tak tahu apa itu. Pengembunan? entahlah... Yang jelas, kalau tak mau roti anda menempel dengan sukses pada kertas, lakukan saran saya.

Bila anda mampu melewati langkah keempat dengan sukses, anda sudah bisa memamerkan skill "menyetrika roti" ini pada teman-teman. Good luck!


Note: Gerakan menyetrika atau menggosok tak perlu dilakukan karena roti akan memadat dengan sendirinya, bisa juga disebut 'roti setrika gepeng'. Tragis...

Friday, January 21, 2011

Hamburger: Antara Urusan Perut dan Sampah

Jari tengah saya nyaris teracung dengan otomatis ketika melihat seorang cewek yang sedang dibonceng dengan santainya membuang bungkus makanan ke jalan. Dulu, seorang teman dekat pernah dengan semangat 45 mengutuk kejadian serupa, dia murka dan mengatakan perbuatan itu adalah perbuatan biadab yang bisa dilakukan hanya oleh orang tak berpendidikan. Saat itu dia memang sedang terbakar emosi, menyadari masih selalu ada orang-orang tak bertanggung jawab yang membuang sampah seenak perutnya, menutup mata bahwa sampah dari segala penjuru dunia yang tak terkelola, salah satunya berakhir di lautan lepas, mengapung terhimpun nyaris seluas benua (suatu saat mungkin saya akan menulis lebih lengkap tentang ini dengan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan).

Saya lalu menghampiri motor itu, sekedar ingin melihat wajah cewek ini, yang tak berhasil saya lihat. Saya hanya mendapatinya sedang menikmati hamburger di tengah debu jalanan dan asap kendaraan bermotor. Baiklah, dandanannya yang seperti mahasiswi tak menjamin attitude baik rupanya (itu kita sudah mahfum, haha).

Hamburger, makanan itu lagi, yang selalu saya sukai sekaligus selalu bikin senewen mengingat packagingnya yang terkadang, menurut saya, berlebihan. Misalnya Mister Burger yang sudah menjadi favorit banyak orang sejak tahun 1990'an. Di tahun 2000'an ini dengan mudah kita mendapati outletnya di setiap penjuru Jogja. Di kawasan sekitar rumah kos saya sendiri, saya bisa menemukan paling sedikit 5 outlet dalam radius 1 km, yang kemudian berguguran satu per satu.

Saya adalah salah satu penggemar burger mereka, yang murah meriah dan rasanya lumayan. Sangat disayangkan mereka selalu membungkus hamburgernya dengan kemasan plastik sehingga setiap kali saya membeli untuk dibawa pulang, harus mengingatkan penjualnya untuk membungkus dengan kertas. Tadinya saya pikir kemasan plastik ini digunakan hanya untuk 'take home order', tapi ternyata di pusatnya di Jl. Sudirman, saya tetap disuguhi plastik ketika memesan untuk makan di tempat.

"Mbak, bisa pake piring aja?" tanya saya. Si Mbak tak banyak tanya, langsung saja dipindahkannya hamburger ke piring (kertas) sekali pakai. Di situ saya lagi-lagi melihat masalah. Resto fastfood selain tak bersahabat dengan kesehatan, juga tak ramah lingkungan. Mister Burger hanya salah satu contoh, restoran fastfood lainnya pun serupa itu, menggunakan kemasan sekali pakai untuk makanannya, entah itu dihidangkan di tempat atau dibawa.


Saya tak perlu memaparkan solusi dari A sampai Z karena sebenarnya untuk masalah mengurangi sampah, alternatifnya terlampau klasik dan sederhana: mulailah dari hal kecil pada diri sendiri, misalnya makanlah dengan lebih bertanggung jawab, dengan mengurangi penggunaan bungkus makanan. Ah, semua sudah tahu itu kan? Tinggal masalah kesadaran pribadi, yang sayangnya tak cukup dibangkitkan oleh kampanye di tengah gaya hidup kapitalistik yang diam-diam menyisipkan "nyampah" dalam agendanya.

Note: Simpanlah tanggapan semacam "Percuma mengurangi konsumsi sampah pribadi karena toh orang lain tak melakukannya, kontribusi saya jadi tak ada artinya." Saya akan bilang, "Think before you speak, dude." (Logika lu dibenerin dulu deh! Karena dengan logika yang sama bisa diambil kesimpulan sebaliknya, bahwa bila banyak orang melakukannya, that simple little thing would definitely give a huge contribution).

Saturday, January 15, 2011

Simple Yummy Dinner: Spaghetti Saus Tomat dan Pesto

Saya sedang bersiap keluar makan malam ketika seorang kawan mengundang ke rumahnya untuk masak dan makan bareng. “Spaghetti yang dibuat sama orang Italia," katanya. Kebetulan sekali, saya super lapar! Tanpa panjang lebar saya meluncur ke rumahnya di kompleks kraton Yogya sembari membayangkan masakan italia otentik macam apa yang akan tercipta di rumah itu.
Nama spaghetti seolah tak bisa lepas dari Italia, negara yang konon memiliki koleksi lelaki ganteng kelas wahid. Beberapa sumber menyatakan pasta diperkenalkan oleh Marco Polo sepulangnya ia dari Cina, ada juga yang mengatakan pasta sudah pernah populer di italia pada jaman Etruscan (Italia Kuno, ratusan tahun SM) dan Romawi. Ada bukti yang menyebutkan bahwa mie a la Etruscan-Roman dibuat dari gandum durum yang sama seperti yang digunakan dalam membuat lasagna, walaupun lasagna tak tergolong pasta.
Pada tahun 1300-an, pasta kering menjadi populer karena nutrisi dan keawetannya sehingga ideal menjadi bekal para pelaut, yang sekaligus juga mempopulerkan pasta ke seluruh dunia. Namun pada jaman itu, pasta belum bertemu jodohnya: tomat. Pertemuan dua jenis bahan makanan ini terjadi baru pada abad ke-19, yang menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah pasta.
Di Negara asalnya, pasta dapat ditemui dalam ratusan variasi, secara umum ada bentuk kering (pasta secca) dan basah (pasta fresca), yang ternyata penggunaannya pun berbeda, masakan tertentu hanya menggunakan pasta kering, makanan lainnya hanya memakai pasta basah. Beberapa jenis masakan tertentu bisa menggunakan kedua jenis pasta ini.
Jadi, masakan apa yang akan dimasak malam itu? Ketika saya datang tak terdapat tanda-tanda adanya kegiatan di dapur dan kebetulan juga tak ada bungkusan belanjaan bahan makanan seperti biasanya sebelum kegiatan memasak dilakukan. Asumsi saya adalah, mereka belum belanja, damn… perut sudah lapar… Ternyata acara masak kali ini cukup simpel dan tak memerlukan banyak bahan seperti yang saya bayangkan. Sang koki membawa hampir semua bahan makanan dari negaranya, termasuk EVOO (Extra Virgin Olive Oil), tentu saja itu membuat saya kagum, sekaligus geli…
“So you brought all thesel from your country?” tanya saya.
“Yes…” jawabnya pendek sambil nyengir.

Dia mulai mengiris dua jenis keju yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Keju asap, Ricotta Affumicata (Smoked Ricotta) dan Montasio 8 Months, yang seperti namanya, menandakan umur produksi keju itu sebelum siap konsumsi. Katanya ada juga pilihan umur lain yang rasanya tentu berbeda. Masing-masing kami diberinya sepotong keju asap, yang berasa ajaib, rasa asap… agak bertekstur (menurut seorang teman, rasanya seperti daging… dia aneh…). Montasio 8 months aromanya agak asam tapi tak terasa asam di lidah… Lidah saya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kedua keju ini.
Lalu entah dari mana dia mengeluarkan bawang bombay putih (white onion), lagi-lagi saya belum pernah melihat makhluk ini sebelumnya.
“You also brought this onion from Italy?”
“Yea, hahahaha”
“What’s the difference with this one?” sambil nunjuk bawang bombay merah.
“Only good chef knows that, haha”
Saya cuma geleng-geleng kepala… Bahan yang digunakannya sederhana saja, selain spagetthi, keju dan bawang bombay, ada saus tomat dan pesto, selesai. That’s it, yang dijadikannya 2 jenis masakan spaghetti. Satu dengan saus tomat dan parutan keju asap. Satu dengan Pesto. Disajikan dalam satu piring dengan potongan keju. Sederhana.
Ada aturan tentang olahan pasta: pasta dengan bentuk sederhana baik dipasangkan dengan saus yang sederhana pula. Sementara pasta berbentuk lebih rumit cocok dengan saus yang lebih pekat dan kaya rasa. Dalam hal ini, Enrique, cowok italia ini sudah menerapkannya dengan baik (Yaeyyalah secara negaranya sudah identik dengan pasta).

Tuesday, January 11, 2011

Sapi Bali

Food: 7

Service: -

Price: Fair

Place/Atmosphere: -



Banyak tempat makan keluarga yang terletak di antara jalan palagan tentara pelajar dan jalan kaliurang. Salah satunya adalah Sapi Bali, seperti namanya, rumah makan yang terletak di pinggir sawah ini menyediakan olahan sapi dengan bumbu khas Bali. Iga Bakar (35K IDR) adalah menu andalannya selain juga menyediakan olahan ayam dan bebek (20 ribuan).

Hari minggu itu saya bersama dua orang teman memesan Iga Bakar dan Sup Iga yang seharusnya ditemani Lawar Kacang Panjang , yang ternyata sedang kosong. Cincau Bali (Daluman) yang saya pesan pun kosong sehingga saya hanya memesan Lemon Squash yang mudah didapat di rumah makan lain.

Rumah makan ini bersebelahan dengan Warung Kepiting Dogen. Saya baru tahu kedua rumah makan ini bekerjasama, tepatnya pemiliknya sama, hingga menu di warung sebelah bisa dipesan dari tempat saya makan, dan sebaliknya, terlebih mereka memiliki kesamaan di beberapa pilihan menunya. Teman saya memesan setengah porsi Kepiting Jantan Saus Bulldog (pilihan saus lainnya: senyum manis –jangan tanya saya kenapa saus bisa tersenyum-, saus tauco dan saus tiram) yang dibanderol mulai 70K IDR. Saus bulldognya dominan dengan pedas lada hitam, dan bumbu yang kuat, so spicy rasanya… gue banget, yay! Olahan kepiting yang cukup membuat bibir kemerah-merahan sexy (atau belepotan saus seperti teman saya…)

Kami yang selalu dalam masa pertumbuhan melupakan fakta bahwa kami hanya bertiga dan memesan terlalu banyak makanan untuk dihabiskan. Saya sendiri melahap 2 piring nasi dengan rakus sebelum menghabiskan iga bakarnya, yang pada akhirnya tentu saja tak sanggup saya lahap tuntas. Saya lupa tak perlu banyak nasi untuk pendamping iga bakar porsi besar karena daging cepat membuat kenyang. Sigh dasar orang Indonesia, nasi setumpuk, lauknya secuil. Bahkan ketika lauk melimpah pun tak dihabiskan karena perut sudah terisi terlalu banyak nasi. Kepiting saus bulldog pesanan teman saya akan terbuang sia-sia pula seandainya tak datang bantuan personel yang konon perutnya macam blackhole, pemakan segala.

Soal pelayanan kebetulan saya tak merasa perlu membahasnya karena andalan mereka adalah makanannya, bukan suasana atau pelayanan.

Saturday, January 8, 2011

Parsley Restaurant

Food: 8

Service: 6

Price: Fair

Place/Atmosphere: Fine


Selama sebulan penuh teman dari luar kota dan mancanegara berdatangan ke Yogyakarta untuk menghabiskan liburan akhir tahun mereka. Kontan saya yang sudah resmi menjadi pengangguran sejak sebulan lalu mendadak sibuk menemani atau minimal menemui mereka setiap harinya, rutin selama hampir sebulan. Beberapa di antara mereka tinggal di kos mungil saya selama di Yogya, yang membuat saya terbiasa dengan kehadiran orang lain hampir sepanjang waktu. Efeknya jelas, ketika satu per satu mereka kembali ke kota dan negara masing-masing, saya kena sindrom kesepian.

Agenda pribadi untuk memulai sesuatu yang berkaitan dengan hobi, ambisi pribadi dan masa depan sudah disiapkan, termasuk untuk menemui beberapa orang, mengunjungi beberapa tempat, juga untuk mencari tempat hangout yang nyaman dan meyediakan hotspot. Namun rasa sepi tetap ada setiap saya sendirian di kamar. So shite, demikian pula hari ini, seharian gelisah karena tak ada kehadiran orang lain di kamar. Butuh penyesuaian untuk menjadi single fighter lagi, hehe. Kegelisahan itu mencapai puncak di malam hari sehingga saya memutuskan untuk keluar. Parsley restoran yang tertelak di Jalan Kaliurang adalah tujuan saya. Alasannya sederhana, dekat kos dan ber-hotspot.

Sejak awal memang tak ada keinginan untuk makan, saya hanya memesan sepoci Earl Grey Tea seharga 9500 IDR, belum termasuk pajak. Teh ini disajikan dalam poci keramik, dengan gula terpisah kemasan sachet dengan pilihan brown sugar, gula pasir, dan pemanis rendah kalori. Sepoci cukup untuk 2-3 orang, tapi selama tak ada gula yang ditambahkan, yang bikin agak mual kalo diminum terlalu banyak, saya sanggup menuntaskannya sendiri. Yang mereka sajikan hanya teh celup yang mudah di dapat di supermarket (Dilmah), jadi saya tak bisa berkomentar banyak tentang teh ini selain… lumayan menyegarkan.

Beberapa saat setelahnya saya tergoda untuk memesan Nicoise Salad berisi tuna, buncis, black olive, cherry tomato, telur rebus, bawang bombay, potato mustard, dengan dressing vinaigrette (17.000 IDR). Lumayan sebagai super light meal yang sehat saat tak berselera makan. Sebenarnya mungkin rasannya lebih dari lumayan bagi penggemar salad, tapi karena saya bukan penikmat salad, semua salad terasa hanya ‘lumayan’. Yah, lebih baik daripada teman saya yang mengatakan, “Salad bukanlah makanan, tapi tumbuhan…”

Ini bukan kali pertama saya menghabiskan waktu di Parsley. Berbagai makanan yang mereka tawarkan sudah pernah saya coba sebelumnya, yang too bad, semuanya enak, hehe. Cobalah Chicken Cordon Bleu mereka (32K IDR). Waktu awal dibukanya resto ini beberapa tahun lalu, rasanya nothing special, tapi terakhir saya mencicipinya, mereka menambahkan creamy spinach dan mustard thyme sauce yang lembut dan jadi booster rasa.

Menu yang mereka tawarkan cukup variatif. Menu sarapan bisa dipesan sepanjang hari, namanya lucu “Breakfast all day” yang mengingatkan saya dengan kebiasaan bangun telat dan “sarapan” di atas jam 12 siang. Atau membuat saya membayangkan orang yang makan seharian… Mereka pun menawarkan starter (appetizer) beragam, cobalah Breaded Chicken Basket yang ditemani tartar sauce pedas, yummmm… Beragam sup, sandwich & burger, masakan barat & asia steak, pasta dan pizza tak ketinggalan meramaikan menu. Pizza ala Italiano yang pernah saya coba adalah Chicken and Spinach Pizza dengan grilled chicken, goat cheese, pesto, dan bayam tentunya. Harga pizza dibanderol mulai 22k IDR, cukup murah dibandingkan dengan pizza sejenis di pizzeria di Jogja.

Sayang, untuk penggemar dessert, Parsley tak memiliki sesuatu yang spesial. Es krim menjadi andalan mereka hampir di setiap pilihan dessert, misalnya Apple Pear Caramelized yang didampingi es krim strawberry atau Chocolate Lava, cake coklat yang lagi lagi berpadu dengan es krim (dan whipped cream).

Untuk pilihan minuman pun cukup variatif, mulai dari keluarga kopi, teh, jus, cokelat, hingga frozen drink. Tapi tak ada yang spesial dari minuman mereka. Enak memang, tapi banyak tempat lain dengan minuman yang lebih enak yang bisa saya sebutkan di sini. Katakanlah es coklatnya, ketika saya memesan es coklat, saya menginginkan rasa coklat yang dominan dan kental, bukan gurih susu krim seperti yang mereka punya. Es coklat parsley lebih tepat disebut “es susu coklat”.

Terlepas dari beragam pilihan pemanja lidah, pelayanan di tempat makan sambil hangout yang banyak disambangi ekspatriat ini tak seindah tempatnya. Saya sempat menanyakan jam buka yang katanya hingga jam 11 malam, namun jam belum menunjukkan pukul 10 ketika beberapa lampu mulai dimatikan, diikuti dengan dimatikannya hotspot pada jam 10. Saya masih tak sadar itu metode pengusiran secara halus, hingga kemudian beberapa kru memperihatkan kegelisahannya, menunggu saya angkat kaki.

Jauh sebelumnya ketika saya memanggil waiter yang sedang lewat untuk memesan sesuatu, saya diminta untuk menunggu sebentar, dia mondar mandir melintasi saya tapi tak pernah kembali ke meja saya. Sangat disayangkan untuk tempat yang dikatakan sebagai ‘fine restaurant’. Ketika saya mencoba mencari waiter lain, tak ada seorangpun yang ada di sana dalam jarak pandang saya. Pun ketika Nicoise Salad pesanan saya tiba, saya agak bingung kenapa makanan dalam mangkuk besar itu disajikan dengan pisau dan garpu, yang kesemuanya diletakkan di seberang saya… Memang ada netbook di hadapan saya, tapi saya sedang menggesernya ketika waitress ini datang, minimal dia bisa mempersilakan saya makan dengan meletakkan garpu dan pisau di samping netbook, daripada di seberang saya. Ah apapun, tapi ngomong-ngomong, pisaunya untuk apa sih?