Sebelum saya genap balita, kedua orangtua memiliki usaha membuat kue kecil-kecilan, dengan armada ibu-ibu pedagang keliling yang setiap paginya akan mengambil dagangan. Jadwal ini membuat ibu dan bapak saya (actually mama papa) harus begadang setiap malam, atau bangun pagi-pagi buta, bersibuk ria di dapur, membuat aneka macam kue. Nah pada saat itulah, bila tak tidur, saya akan berperan di dapur.
Ketika itu, bapak baru saja selesai membuat adonan bika ambon, saya berkeliaran di area dapur. Ketika akan mencuci tangan, beliau berpesan supaya saya menjadi anak baik, maksudnya 'jangan ngacak-ngacak dapur deh'. Tentu saya mengiyakan. Walaupun ragu, bapak akhirnya bergegas mencuci tangannya dan kembali menemukan adonan sudah belepotan ke mana-mana dengan posisi panci terbalik...
Bakat mengacak-acak isi dapur (dan ruangan apapun), berlanjut hingga saat ini, saat teman sebaya disibukkan dengan urusan hamil dan mengasuh anak. Saya sendiri? Masih anak-anak... Nah, jadi gini, hingga menginjak SMU saya terbiasa tinggal di tempat yang memiliki dapur dengan orang-orang yang bisa masak. Saya sendiri lebih jago makan daripada masak. Tapi little little i can lah. Malah dengan super pede saya bisa mendeklarasikan, kemampuan masak saya jauh lebih baik daripada kebanyakan kakak-kakak mahasiswi di kosan 'ini'.
Di kosan 'ini', semua penghuninya adalah wanita, yang bisa masak justru ga pernah masak saking sibuknya, yang ngga sibuk, mencoba mengisi waktu dengan memasak. Persoalannya, ilmu mereka cetek... Bayangkan seberapa sulitnya membuat agar-agar? Panduan masaknya bahkan bisa dengan mudah dibaca di bungkus agar-agar. Air sekian mililiter, gula sekian gram, dan sebungkus agar-agar. Selesai. Tak punya gelas ukur dan timbangan? Andalkan kemampuan logis-matematis dengan membandingkan volume air dalam sebotol air mineral misalnya? Kalo sebotol itu 600 ml, setengahnya berarti 300 ml, itu kira-kira sama dengan ukuran penuh satu gelas belimbing, betul? Begitupun dengan gula, tinggal dikira2, kalo sekilo segede 'gitu', berarti 100 gram adalah 1/10 dari ukuran 'gitu'. Anggaplah demikian. Mudah.
Nah, sayangnya mahasiswi farmasi kelas nerd ini, yang sering bergulat dengan angka dan tentunya, rumus, otaknya terlalu rumit untuk memecahkan persoalan sederhana macam ini hingga agar-agarnya jadi bubur, hehehe. Sebenernya bisa aja saya recycle tapi mengingat kesensiannya yang tingkat langit ke tujuh, dan jutek abis hanya karena saya menyaksikan kegagalannya, jadi saya lebih baik tak beraksi lebih jauh.
Kasus sup ayam menambah tragedi berikutnya di kosan 'ini'. Pelakunya berbeda, hasilnya sama: gagal. Baiklah, itu adalah larutan garam berisi sayuran. Mereka membiarkannya. Kali ini karena pelakunya easy going aja, saya berani campur tangan. Cukup ditambah bumbu penyedap, selesai. Gak jadi mubazir tapi jadilah sup ;)
So karena memasak itu bukan hobi (dan skill) mereka, peralatan masak di kosan 'ini' jadi seadanya, itu pun sering dalam keadaan kotor. Hal inilah yang kemudian membuat setrika menjadi korban ketika saya menginginkan roti bakar, hehehe...
Cara membuat roti setrika ini cukup mudah, yang diperlukan hanyalah roti dan setrika (tentu saja) plus kertas bersih. Tapi demi rasa kemanusiaan dan kepuasan lidah, kita bisa menambahkan apapun yang wajar dalam roti ini hingga mereka bisa disebut sandwich. Pilihan saya selalu jatuh pada margarin dan meses (right spelling? meses? whatever).
So mau diapakan kertasnya? We'll find out!
Begini cara yang biasa saya pakai:
2. Oleskan mentega ke roti tawar, taburi dengan meses (bisa diganti selai atau pasta), tutup dengan lapisan roti tawar lain
3. Letakkan sandwich tadi di atas kertas, tutup dengan kertas lain, lalu letakkan setrika panas di atasnya, biarkan hingga berwarna coklat kekuningan, atau coklat? sesuai selera sajah.
4. Balik sandwichnya, lakukan hal yang sama dengan sisi yang satunya. Tapiii... sisi yang ini harus sering di kontrol dengan cara sering mengangkat setrika dan membuka lapisan kertas di atas. Why? Sering kali bagian yang sebelumnya di bawah ini menjadi lembab karena proses fisika yang saya pun tak tahu apa itu. Pengembunan? entahlah... Yang jelas, kalau tak mau roti anda menempel dengan sukses pada kertas, lakukan saran saya.
No comments:
Post a Comment