Saturday, January 8, 2011

Parsley Restaurant

Food: 8

Service: 6

Price: Fair

Place/Atmosphere: Fine


Selama sebulan penuh teman dari luar kota dan mancanegara berdatangan ke Yogyakarta untuk menghabiskan liburan akhir tahun mereka. Kontan saya yang sudah resmi menjadi pengangguran sejak sebulan lalu mendadak sibuk menemani atau minimal menemui mereka setiap harinya, rutin selama hampir sebulan. Beberapa di antara mereka tinggal di kos mungil saya selama di Yogya, yang membuat saya terbiasa dengan kehadiran orang lain hampir sepanjang waktu. Efeknya jelas, ketika satu per satu mereka kembali ke kota dan negara masing-masing, saya kena sindrom kesepian.

Agenda pribadi untuk memulai sesuatu yang berkaitan dengan hobi, ambisi pribadi dan masa depan sudah disiapkan, termasuk untuk menemui beberapa orang, mengunjungi beberapa tempat, juga untuk mencari tempat hangout yang nyaman dan meyediakan hotspot. Namun rasa sepi tetap ada setiap saya sendirian di kamar. So shite, demikian pula hari ini, seharian gelisah karena tak ada kehadiran orang lain di kamar. Butuh penyesuaian untuk menjadi single fighter lagi, hehe. Kegelisahan itu mencapai puncak di malam hari sehingga saya memutuskan untuk keluar. Parsley restoran yang tertelak di Jalan Kaliurang adalah tujuan saya. Alasannya sederhana, dekat kos dan ber-hotspot.

Sejak awal memang tak ada keinginan untuk makan, saya hanya memesan sepoci Earl Grey Tea seharga 9500 IDR, belum termasuk pajak. Teh ini disajikan dalam poci keramik, dengan gula terpisah kemasan sachet dengan pilihan brown sugar, gula pasir, dan pemanis rendah kalori. Sepoci cukup untuk 2-3 orang, tapi selama tak ada gula yang ditambahkan, yang bikin agak mual kalo diminum terlalu banyak, saya sanggup menuntaskannya sendiri. Yang mereka sajikan hanya teh celup yang mudah di dapat di supermarket (Dilmah), jadi saya tak bisa berkomentar banyak tentang teh ini selain… lumayan menyegarkan.

Beberapa saat setelahnya saya tergoda untuk memesan Nicoise Salad berisi tuna, buncis, black olive, cherry tomato, telur rebus, bawang bombay, potato mustard, dengan dressing vinaigrette (17.000 IDR). Lumayan sebagai super light meal yang sehat saat tak berselera makan. Sebenarnya mungkin rasannya lebih dari lumayan bagi penggemar salad, tapi karena saya bukan penikmat salad, semua salad terasa hanya ‘lumayan’. Yah, lebih baik daripada teman saya yang mengatakan, “Salad bukanlah makanan, tapi tumbuhan…”

Ini bukan kali pertama saya menghabiskan waktu di Parsley. Berbagai makanan yang mereka tawarkan sudah pernah saya coba sebelumnya, yang too bad, semuanya enak, hehe. Cobalah Chicken Cordon Bleu mereka (32K IDR). Waktu awal dibukanya resto ini beberapa tahun lalu, rasanya nothing special, tapi terakhir saya mencicipinya, mereka menambahkan creamy spinach dan mustard thyme sauce yang lembut dan jadi booster rasa.

Menu yang mereka tawarkan cukup variatif. Menu sarapan bisa dipesan sepanjang hari, namanya lucu “Breakfast all day” yang mengingatkan saya dengan kebiasaan bangun telat dan “sarapan” di atas jam 12 siang. Atau membuat saya membayangkan orang yang makan seharian… Mereka pun menawarkan starter (appetizer) beragam, cobalah Breaded Chicken Basket yang ditemani tartar sauce pedas, yummmm… Beragam sup, sandwich & burger, masakan barat & asia steak, pasta dan pizza tak ketinggalan meramaikan menu. Pizza ala Italiano yang pernah saya coba adalah Chicken and Spinach Pizza dengan grilled chicken, goat cheese, pesto, dan bayam tentunya. Harga pizza dibanderol mulai 22k IDR, cukup murah dibandingkan dengan pizza sejenis di pizzeria di Jogja.

Sayang, untuk penggemar dessert, Parsley tak memiliki sesuatu yang spesial. Es krim menjadi andalan mereka hampir di setiap pilihan dessert, misalnya Apple Pear Caramelized yang didampingi es krim strawberry atau Chocolate Lava, cake coklat yang lagi lagi berpadu dengan es krim (dan whipped cream).

Untuk pilihan minuman pun cukup variatif, mulai dari keluarga kopi, teh, jus, cokelat, hingga frozen drink. Tapi tak ada yang spesial dari minuman mereka. Enak memang, tapi banyak tempat lain dengan minuman yang lebih enak yang bisa saya sebutkan di sini. Katakanlah es coklatnya, ketika saya memesan es coklat, saya menginginkan rasa coklat yang dominan dan kental, bukan gurih susu krim seperti yang mereka punya. Es coklat parsley lebih tepat disebut “es susu coklat”.

Terlepas dari beragam pilihan pemanja lidah, pelayanan di tempat makan sambil hangout yang banyak disambangi ekspatriat ini tak seindah tempatnya. Saya sempat menanyakan jam buka yang katanya hingga jam 11 malam, namun jam belum menunjukkan pukul 10 ketika beberapa lampu mulai dimatikan, diikuti dengan dimatikannya hotspot pada jam 10. Saya masih tak sadar itu metode pengusiran secara halus, hingga kemudian beberapa kru memperihatkan kegelisahannya, menunggu saya angkat kaki.

Jauh sebelumnya ketika saya memanggil waiter yang sedang lewat untuk memesan sesuatu, saya diminta untuk menunggu sebentar, dia mondar mandir melintasi saya tapi tak pernah kembali ke meja saya. Sangat disayangkan untuk tempat yang dikatakan sebagai ‘fine restaurant’. Ketika saya mencoba mencari waiter lain, tak ada seorangpun yang ada di sana dalam jarak pandang saya. Pun ketika Nicoise Salad pesanan saya tiba, saya agak bingung kenapa makanan dalam mangkuk besar itu disajikan dengan pisau dan garpu, yang kesemuanya diletakkan di seberang saya… Memang ada netbook di hadapan saya, tapi saya sedang menggesernya ketika waitress ini datang, minimal dia bisa mempersilakan saya makan dengan meletakkan garpu dan pisau di samping netbook, daripada di seberang saya. Ah apapun, tapi ngomong-ngomong, pisaunya untuk apa sih?

No comments:

Post a Comment